Pondok
Pesantren Tahfidzul Qur’an Al-Asy’ariyyah
PPTQ
Al-Asy'ariyyah yang berkantor di Jalan KH. Asy’ari No. 9 berada di desa
Kalibeber Kecamatan Mojotengah Kabupaten Wonosobo. Desa Kalibeber
yang hampir 100 % penduduknya beragama Islam secara geografis berada di atas
ketinggian + 860 m dari permukaan laut (DPL) dan
terletak pada Bujur Timur dan Lintang Selatan 12.15.07.02 dimana suhu rata-rata
berkisar antara 200 C sampai 250 C, pada bulan
Juli dan Agustus biasanya suhu tidak menetap bahkan bisa di bawah 200 C.
Jarak desa Kalibeber dengan ibu kota kabupaten berjarak + 3 km
dan tranportasi bisa dijangkau dengan mudah serta dilalui oleh angkutan kota.
Luas tanah desa Kalibeber seluas 140.320 Ha dengan batas desa sebelah Utara
desa Wonokromo, Selatan desa Kejiwan, Barat desa Sukorejo dan sebelah Timur
desa Bumirejo dan Krasak.
PPTQ
Al-Asy’ariyyah memiliki yayasan yaitu Yayasan Al-Asy’ariyyah.
Yayasan Al-Asy'ariyyah yang sekarang menjadi
payung dari lembaga-lembaga di bawahnya seperti PPTQ Al-Asy'ariyyah, SLTP
Takhassus Al-Qur'an, SMA Takhassus Al-Qur'an, SMK Takhassus Al-Qur'an, SD Takhassus Al-Qur'an, Balai
Pengobatan Hajah Maryam, Dewan Ekonomi Pesantren dan lain-lain, mempunyai sejarah
perkembangan selama empat periode :
Periode
1
Periode2
Periode 3
Periode 4
K. Muntaha
KH.
Abdurrohim KH.
Asy’ari KH.
Muntaha, Alh
(1832-1859)
(1860-1916)
(1917-1949)
(1950-2005)
Periode keempat Simbah KH. Muntaha, Alh. juga
telah mempelopori berdirinya Universitas Sains Al-Qur'an (UNSIQ) yang
sebelumnya bernama Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ), sebagai salah seorang pendiri
perguruan tinggi yang ada di desa Kalibeber, Kecamatan Mojotengah,
Kabupaten Wonosobo.
Adapun sejarah figur masing-masing periode
sebagai berikut :
1. 1. Periode
Pertama, K. Muntaha (1832 – 1859)
Pada tahun 1839 P. Diponegoro ditangkap atas
tipu daya Belanda di Magelang dan melucuti para pengawalnya. Di antara prajurit
pengawalnya yang sempat meloloskan diri dari kejaran Belanda adalah R.
Hadiwiyaja dengan nama samaran KH. Muntaha bin Nida Muhammad. Pada tahun 1832 Kyai Muntaha I tiba di desa
Kalibeber yang waktu itu sebagai ibu kota Kawedanan garung. Beliau diterima
oleh Mbah Glondong Jogomenggolo. Atas petunjuk Mbah Glondong Jogomenggolo,
beliau mendirikan masjid dan padepokan santri di dusun Karangsari Ngebrak
Kalibeber, di pinggir Sungai Prupuk yang sekarang dijadikan makam keluarga
Kyai.
Di
tempat ini beliau mengajarkan agama Islam kepada anak-anak dan masyarakat
sekitar. Ilmu pokok yang diajarkan adalah baca tulis Al-Qur'an, tauhid dan
Fiqih. Dengan penuh ketekunan, keuletan dan kesabaran, secara berangsur-angsur
masyarakat Kalibeber dan sekitarnya memeluk agama Islam atas kesadaran mereka
sendiri. Mereka meninggalkan adat istiadat buruknya seperti berjudi, menyabung
ayam, minum khamer dan lain-lain. Karena padepokan santri lama kelamaan tidak
mampu menampung arus santri dan terkena banjir Sungai Prupuk, maka kegiatan
pesantren dipindahkan ke tempat yang sekarang dinamai Kauman Kalibeber.
Masyarakat
yang tinggal di sekitar padepokan baru yang tidak mau secara sukarela memeluk
Islam, atas kemauan mereka sendiri banyak yang meninggalkan kampung itu. Daerah
selatan pesantren yang semula dihuni oleh Cina akhirnya ditinggalkan
penghuninya, dan nama Gang Pecinan sampai sekarang masih dilestarikan. Kyai
Muntaha bin Nida Muhammad wafat pada tahun 1860, setelah 28 tahun memimpin
pesantren. Beliau digantikan oleh putranya, KH. Abdurrahim bin K. Muntaha.
1. 2. Periode
Kedua, KH. Abdurrahim (1860 – 1916)
Mulai
tahun 1860, KH. Abdurrahim bin K. Muntaha menerima estafet tugas mulia memimpin
pesantren dari ayahandanya. Sejak mudanya beliau telah dipersiapkan untuk
meneruskan perjuanan menyiarkan Islam dan memimpin pesantren. Beliau pernah
nyantri di Pondok Pesantren K. Abdullah Jetis Parakan Kabupaten Temanggung,
bahkan beliau dijadikan menantunya. Di bawah asuhan KH. Abdurrahim pesantren
semakin maju. Beliau masih melestarikan sistem dan materi pendidikan
peninggalan ayahandanya. Bertepatan dengan tanggal 3 Syawal 1337 Hijriyah atau
1916 Masehi, KH. Abdurrahim dipanggil Yang Maha Kuasa dan dimakamkan di bekas
komplek Pondok Karangsari Ngebrak. Sepeninggal beliau, kepemimpinan pesantren
diteruskan oleh putranya, KH. Asy’ari bin KH. Abdurrahim.
1. 3. Periode
Ketiga, KH. Asy’ari (1917 – 1949)
KH.
Asy’ari yang pernah nyantri di Pondok Pesantren Somalangu Kebumen dan Tremas
Pacitan, meneruskan kepemimpinan ayahandanya. Pada masa itu Indonesia tengah
melahirkan gerakan-gerakan nasional baik yang berdasar agama maapun kebangsaan.
Pada tahun-tahun terakhir hidup beliau, Indonesia sedang gigih-gigihnya
menentang kedatangan kembali penjajah Belanda, oleh karena itu pesantren
mengalami masa surut. Sebagian santrinya ikut dalam gerilya melawan penjajah.
Pada aksi polisionil ke II itu, Belanda menyerang wilayah Wonosobo, bahkan
samapi desa Dero Ngisor, + 5 km dari desa Kalibeber ke sebelah
barat. Sementara itu KH. Asy’ari dalam usia setua itu terpaksa mengungsi ke
desa Dero Nduwur + 8 km dari desa Kalibeber. Ternyata Belanda
tidak berani meneruskan pengejaran ulama ini sampai ke tempat pengungsian.
Dalam pada itu beliau sedang sakit keras yang kemudian wafat dalam pengungsian,
dan dimakamkan di sana 13 Zulhijjah 1371 / 1949 M.
Satu hal yang perlu dicatat, bahwa wafatnya KH.
Asy’ari telah menyiapkan putra-putranya untuk kaderisasi kepemimpinannya.
Seluruh putranya dikirim ke berbagai pondok pesantren. Satu diantara putranya
adalah KH. Muntaha bin KH. Asy’ari.
1. 4. Periode
Keempat, KH. Muntaha (1950 – )
1.
a. Riwayat Pendidikan
Beliau dikirim untuk belajar di Madrasah Darul
Ma’arif Banjarnegara di bawah asuhan Kyai Fadlullah dari Singapura. Kemudian
beliau melanjutkan belajar Tahfidzul Qur’an sampai hafal di Kaliwungu Kendal,
di bawah asuhan KH. Utsman. Setelah hafal Al-Qur'an, beliau memperdalam
ilmu-ilmu Al-Qur'an di hadapan Mbah KH. Munawir Krapyak Yogyakarta, dan
terakhir di hadapan KH. Dimyati Tremas Jawa Timur.
1. b. Perjuangan
Fisik
Pada waktu Indonesia memerlukan putra-putranya
terjun ke dalam perjuangan fisik melawan penjajah, KH. Muntaha tidak
ketinggalan. Sebelum terbentuknya pasukan Hisbullah, Sabilillah Mujahidin dan
lain-lain, beliau telah membentuk dan menjadi Komandan BMT (Barisan Muslim
Temanggung), karena saat itu beliau ada di Temanggung. Di sinilah beliau
bertemu dengan H. Munawwir Syadzali, MA yang saat itu menjabat sebagai Menteri
Agama Republik Indonesia.
1. c. Perjuangan
Politik
Tahun 1959, di samping sebagai pejabat pada kantor Departemen Agama Kabupaten
Wonosobo, KH. Muntaha diangkat sebagai anggota Konstituante Republik Indonesia
di Bandung, mewakili NU Jawa Tengah. Beliau aktif sampai akhirnya majlis
dibubarkan 5 Juli 1959. selanjutnya hampir setiap periode kepengurusan NU
Cabang Wonosobo beliau menduduki Syuriyyah dan kemudian Mustasyar.
Setelah NU menyatakan kembali ke Khittah 1926
pada Mu’tamar yang ke-27 di Situbondo Jawa Timur 1984, orientasi politik beliau
sengaja direvisi. Dari berbagai pengalaman perjuangan fisik dan politik,
akhirnya beliau simpulkan bahwa perjuangan yang relevan dengan tujuan strategis
global untuk memajukan ummat Islam dan Li i’laa-i kalimatillah adalah lewat
pendidikan dan mempererat kerjasama dengan pemerintah. Hal ini beliau buktikan
dengan berbagai aktivitas dan pembangunan lembaga-lembaga pendidikan.
1. d. Perjuangan
dalam Pendidikan
Dalam mengelola pondok pesantren yang masih
tetap mempertahankan sistem salafiyah, beliau menambah dan mendampingi dengan
mendirikan sekolah-sekolah formal. Pada tahun 1960 beliau mendirikan TK /
Raudlatul Athfal dan Madrasah Ibtidaiyah Ma’arif Kalibeber. Kemudian tahun 1962
didirikan pula Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah Ma’arif yang menempati komplek
pondok pesantren dan tahun 1967 lembaga pendidikan tersebut dinegerikan, sedang
Aliyahnya tahun 1968. setelah 10 tahun menempati komplek pesantren kedua
lembaga itu dipindahkan. MTs-nya dipindah ke dusun Ngebrak dan Aliyahnya ke
desa Krasak. Selanjutnya untuk meningkatkan pelayanan pendidikan di masyarakat,
beliau mendirikan Yayasan. Di antara yayasan yang langsung khidmah ummah ialah
Yayasan Aswaja Baiturrahim dengan Akte Notaris Nomor 27 tahun 1980, yang
kemudian diubah menjadi Yayasan Al-Asy'ariyyah dengan Akte Notaris Nomor 78
tanggal 27 Februari 1989.
1. 5. Periode
ke-Lima (sekarang) KH. ACHMAD FAQIH MUNTAHA
Beliau
adalah putra sulung KH.Muntaha Alh dari istri yang bernama Nyai Hj Maiyan
jariyah, lahir di Kalibeber pada tanggal 3 Maret 1955. beliau akarb dipanggil
dengan Abah Faqih. Beliau mempunyai 5 putra dan 1 putri yaitu ;
1. H.
Abdurrohman Al-Asy'ari, Alh, S.H.I
2. H.
Khairullah Al-Mujtaba, Alh
3. Siti
Marliyah
4. Nuruzzaman
5. Fadlurrohman
Al-Faqih
6. Ahmad
Isbat Caesar
Putra-putri
beliau sudah ada yang menyelesaikan pendidikan baik formal maupun non formal,
baik S1 maupun tahfidzul Qur'an dan juga pondok pesantren. Bahkan putra beliau
yang pertama dan kedua adalah alumnus Yaman "Ribat ta'lim Khadzral
maut" dibawah asuhan Habib Salim As-Satiri
1. 1. Riwayat
Pendidikan
Beliau
menjalani masa kanak-kanak dibawah asuhan langsung dari Almaghfurlah KH.
Muntaha Alh. Selain itu beliau juga sekolah formal di SD Kalibeber, sedangkan
SMP di Wonosobo yang kemudian melanjutkan di STM juga di wonosobo setelah
selesai sekolah formal bilau dikirim untuk belajar di pesantren seperti
kebayakan gus-gus yang lain. Pada tahun 1973 beliau nyantri di Pondok pesantren
termas Pacitan dibawah asuhan KH. Chabib Dimyati, sampai tahun 1978. kemudian
beliau pindah ke Krapyak yang pada waktu itu diasuh oleh beliau KH. Ali Maksum
(juga termasuk salah satu teman seperjuangan Simbah Muntaha Alh) selama 1
tahun. Selanjutnya beliau nyantri lagi di Buaran Pekalongan kepada Al-Mukarrom
KH. Syafi'I yang juga terkenal sebagai salah satu teman seperjuangan
Al-Maghfurllah Simbah KH. Muntaha Al-Hafidz. Setelah itu pada tahun 1980 beliau
pulang keKalibeber yang dilanjutkan dengan nyantri di kaliwiro kepada seorang
kiyai yang terkenal dengan panggilan Mbah Dimyati. Belum genap satu tahun
beliau kemudian melaksanakan akad nikah dengan salah seorang santri
kalibeber yang bernama Shofiah binti KH Abdul Qodir Cilongok Banyumas, kendati
beliau telah melangsungkan pernikahan, namun bukan berarti akhir dalam menuntut
ilmu, karena beliau masih tetap nyantri dengan Mbah dimyati di Kaliwiro selama
kurang lebih satu tahun. Ketika di kliwiro inilah beliau mendalami kitab-kitab
yang besar antaralain : Shoheh Bukhori, Shoheh Muslim, Ihya' Ulummuddin, Tafsir
Al-Munir, dan lain-lain. Kemudian beliau mukim membantu perjuangan Ayahanda
beliau yaitu Simbah KH. Muntaha Al-Hafidz(Alm). Selama masa nyantri tersebut
beliau mempunyai hobi yang sangat unik yang sama dengan hobinya Gus Dur yaitu
Ziarah Qubur, beliau juga terkenal sebagai santri yang mempunyai dedikasi dan
disiplin yang tinggi dan selalu mentaati peraturan (Qonun) pondok pesantren
yang ada walaupun beliau adalah putra seorang Ulama besar yang kharismatik.
1. 2. Perjuangan
Pendidikan
Setelah
pulang dari pesantren (Mukim pada tahun 1980) beliau aktif membantu mengajar di
Pondok pesantren milik Ayahandanya dan ikut perkecimpung dalam masyarakat.
Waktu itu santri di kalibeber baru sekitar 50 orang putra dan putri dengan
prioritas Tahfidzul Qur'an (menghafal A-Qur'an) dan menggunakan sistem
salafy. Pertama kali beliau mengajar pada santrinya yaitu kitab
"Burdah" yang bertempat di masjid Baiturrochim. Selain mengajar pada
santri beliau juga mengajar Diniyah ba'da dzuhur untuk orang kampung yang waktu
itu bertempat di MI Ma'arif. Adapun kitab-kitab yang pernah beliau khatamkan
antaralain adalah : Taqrib, Bidayatul Hidayah, Sulamuttaufik, Safinah, dll
sedangkan untuk ilmu nahwu diampu oleh teman beliau yaitu Bp H. quraisyin.
Disamping mengajar, beliau juga ikut aktif dalam mendirikan lembaga-lembaga
formal antara lain : SMP, SMA, SMK Takhassus Al-Qur'an dan IIQ (Sekarang
UNSIQ). Beliau juga meneruska cita-cita ayahanda beliau yang belum terrealisir
diantaranya : SD Takhassus Al-Qur'an, Darul Aitam, Menara Masjid Baiturrochim,
dan gedung baru Pondok Pesantren Al-Asy'ariyyah. Beliau juga mendirikan kelas
jauh diantaranya adalah : SMA Takhassus Al-Qur'an di Kepil, SMP + SMA Takhassus
Al-Qur'an di Ndero duwur plus Pondok pesantren tanpa pemungutan biaya, Pondok
Pesantren + SMA dan SMP Takhassus Al-Qur'an di Kalimantan barat, SMP TAQ Di
Majalengka, di Tumiyang Purwokerto, di Buntu Banyumas, serta di Baran Gunung
Ambarawa, dan masih banyak lagi. Satu cita-cita beliau yang belum terrealisasi
adalah menjadikan Kalibeber sebagai "Semacam Vatikan" di Indonesia.
Dimana nanti setiap fatwa dari kalibeber akan di patuhi oleh semua pemeluk
islam diseantereo Nusantara.
1. 3. Perjuangan
Organisasi
Dalam
bidang organisasi beliau aktif di Mabarot. Dan selanjutnya aktif di Tanfidziyah
Ranting kalibeber, sekretaris MWC Mojotengah. Tercatat mulai Tahun 1996 sampai
sekarang beliau aktif sebagai Mustasyar NU cabang Wonosobo. Dulunya Beliau juga
aktif dalam partai politik antara lain P3, Golkar dan PKB. Namun demi
kemaslahatan umat mulai tahun 2004 hingga sekarang beliau netral. Selain itu
beliau juga menjadi salah satu sesepuh di Kalibeber bahkan di Wonosobo beliau
termasuk salah satu Kiyai yang paling disegani.
Dewan Pengurus Yayasan Al-Asy'ariyyah
Dewan Pendiri/Pembina :
KH. Muntaha, Alh
KH. Mustahal
Asy’ari
KH. Ibnu
Jauzi
KH. Faqih
Muntaha
Dewan Pengawas :
KH. Habibullah Idris
K. Chozin Chams, BA.
Drs. H. Ihwan Qomari, M.Ag.
H. Sukardi
H. Mustangin, S.Pd.
H. Abdurrohman, S.Ag. Alh.
Nur Kholis
Badan Pengurus :
Ketua Umum
: Drs. H. Mukhotob
Hamzah, MM.
Ketua I
: KH.
Miftah Idris, SH
Ketua II
: Drs. H. Muhammad Hafidz
Ketua III
: H. As’ad Alh
Ketua IV
: K. Abdul Aziz
Sekretaris
: Wajihudin Al-Antaqi, Alh, S.Ag
Wakil Sekretaris
: H. Hafidz Ahmad
Bendahara
: Muhammad Maftuh
Wakil Bendahara
: M. Syaifuddin
Tujuan Pendirian Yayasan Al-Asy'ariyyah :
1. Terciptanya
individu mukmin yang bertaqwa kepada Allah SWT. (QS. 3 : 102).
2. Terciptanya
‘ailah yang thayyibah jauh dari adzab neraka (QS. 66 : 6).
3. Terciptanya
baldatun thayyibatun warabbun ghofur (QS. 34 : 15).
4. Terlaksananya
ajaran Al-Qur'an yang disertai dengan penghayatan dan pengamalan dari seluruh
ummat Islam Indonesia yang berdasar Pancasila dan UUD 1945.
5. Membina
kesadaran dan tanggung jawab dalam beragama sebagai salah satu aspek
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
6. Mengusahakan
terwujudnya sikap wasathiyah kaum muslimin sesuai dengan tuntunan Al-Qur'an (QS.
2 : 134).
7. Menciptakan
Ukhuwah Islamiyah dan Wahdatul Ummah serta menggalang kerjasama dan kejujuran
watak dalam berbakti kepada agama Islam, nusa dan bangsa dan negara Republik
Indonesia yang berdasar Pancasila dan UUD 1945.
Pengabdian KH. Muntaha al-Hafidz (periode keempat) terhadap Sang Kholik
Penguasa Jagad Raya melalui kiprahnya sudah diakui umat muslimin di Indonesia.
Perjuanan dalam membawa nama harum bangsa terhadap dunia internasional melalui
karyanya sudah tidak asing lagi. Sejarah berdirinya Museum Baitul Qur’an di
Jakarta tidak terlepas dari sejarah terwujudnya mushaf Al-Qur'an terbesar di
dunia saat ini.
Pada
hari Selasa tanggal 5 Juli 1994, sebuah Karya Besar Produk Pesantren
Al-Asy'ariyyah berupa “Al-Qur'an Akbar” diserahkan kepada Presiden RI (Presiden
Soeharto pada saat itu) di Bhina Graha Jakarta, yang disaksikan oleh Menteri
Penerangan H. Harmoko, Menteri Agama Tarmidzi Tahir, Gubernur Jawa Tengah
Soewardi, Wakil Ketua MUI Ali Yafie, dan Bupati Wonosobo saat itu Drs. H. Soemadi.
Al-Qur'an
Akbar dengan ukuran lebar 1,5 m dan panjang 2 m
atau 2 x 3 m bila
dibuka, memuat 30 juz atau 605 halaman serta beratnya mencapai 165 kg, sehingga
diperlukan 8 orang untuk mengangkatnya, (Koran
Republika, 8 Juli 1994, halaman 9 – pernah
menulis bahwa beratnya adalah 3 kuintal, bingkainya dibuat dari kayu Jati
dengan penguat mushaf dari besi tahan karat dengan tebal Al-Qur'an tersebut
10,5 cm yang disimpan dalam almari kayu Jati dan rehal dari kayu Jati pula).
Al-Qur'an tersebut ditulis oleh dua santri Pondok Pesantren Al-Asy'ariyyah, H.
Khayatuddin dan H. Abdul Malik, mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ)
Kalibeber saat itu. Penulisan diselesaikan selama kurang lebih 17 bulan, mulai
16 Oktober 1991 hingga 5 Februari 1993 dengan menghabiskan dana + 35
juta rupiah.
Ide Dasar
Al-Qur'an Akbar
Pondok
Pesantren Al-Asy'ariyyah merupakan pesantren terbesar di Wonosobo yang memiliki
kurang lebih 3.000 santri putra dan putri. Para santri banyak yang mendalami
tentang Al-Qur'an di samping ilmu agama lainnya. Pesantren ini menyelenggarakan
program rutin tiap tahun yaitu Khotmil Qur’an yang hampir tiap tahun rata-rata
menelorkan wisudawan-wisudawati hafal
Al-Qur'an 30 Juz, 20 sampai 25 santri yang biasanya dihadiri oleh mubaligh
kondang dan pejabat teras.
Salah
satu pejabat tinggi yang hadir pada saat Khotmil Qur’an sebelum memulai
penulisan Mushaf Al-Qur'an Akbar adalah Menteri Penerangan ketika itu dijabat
oleh H. Harmoko. Dalam perbincangan Menteri Penerangan dengan Pengasuh Pondok
Pesantren Al-Asy'ariyyah yang pada saat itu KH. Muntaha al-Hafidz menyampaikan
idenya untuk membuat Al-Qur'an Akbar, selanjutnya niatan mulia tersebut
direspom oleh Menteri Agama dengan baik, maka dalam beberapa bulan kemudian
dikirm kertas berukuran 1,5 x 2 meter, jenis Art Paper sebanyak 1.000 (seribu)
lembar.
Adapun
yang ditunjuk menangani karya besar itu adalah 2 (dua) orang santrinya yang
dipandang mampu dan mempunyai keahlian khusus, Khayatuddin (28 tahun saat itu)
sebagai penulis, dan Abdul Malik (27 tahun) sebagai pelukis / ornamen, selain
itu dibantu tim pentasih atau pemeriksa, Waros al-Hafidz. Selama penulisan
Al-Qur'an keduanya melakukan dalail atau puasa tiap hari selama tiga tahun (Kecuali
hari-hari Tasyrik atau hari yang dilarang puasa). Sholat dua rakaat pun mereka
lakukan sebelum menulis untuk menjaga agar tetap suci dari hadats besar maupun
kecil. Penulisan dilakukan pada pagi hari pukul 07.30 hingga pukul 12.00 siang
dan setelah itu mereka berhenti untuk mengikuti kuliah di Institut Ilmu
Al-Qur'an (IIQ) yang sekarang berganti nama menjadi Universitas Sains Al-Qur'an
(UNSIQ), keduanya memang tercatat sebagai mahasiswa IIQ Fakultas Tarbiyah
ketika itu. Penulisan dilanjutkan kembali setelah sholat Isya’ pukul 19.30
hingga 20.30 setiap harinya.
Alat
tulis yang dipakai adalah pena yang dirancang sendiri dari Bambu Aur (Pring Wulung = Bahasa
Jawa) sebab setelah mereka mencari pena ke Surabaya dan Jakarta
tidak menjumpai alat tulis yang bisa menghasilkan tulisan setebal 1 cm. Tinta
yang dipakai adalah tinta adonan sendiri yakni tinta Cina yang dicampur dengan
air teh sebagai bahan pengawet agar bisa tahan berpuluh-puluh tahun, sementara
untuk tempat tinta, mereka menggunakan mangkok dari tanah liat. Terbukti dengan
menggunakan pena dari bambu tersebut, goresan yang dihasilkan lebih rapi dan
bersih dibandingkan dengan tinta-tinta lainnya. Simbah KH. Muntaha pun terus
mengawasi selama dalam proses penulisan.
Selama
penulisan menghabiskan 3 (tiga) Pena Bambu, 500 (lima ratus) Spidol, 15 kg
tinta hijau dan emas serta 15 botol tinta ukuran minuman plastik sedang, atau
tinta full colour yang dipakai untuk hiasan Surah Al-Fatihah dan tulisan Alif
Lam Mim.
Selama
proses pembuatan sering dikunjungi tamu dan turis dari dalam maupun luar
negeri, mereka datang bermaksud untuk melihat dari dekat penulisan, bahkan
Bapak Bupati Drs. H. Soemadi sering hadir untuk memberikan dorongan dan
semangat kedua santri itu.
Tujuan
pembuatan Al-Qur'an Akbar menurut KH. Muntaha al-Hafidz adalah untuk mengenang
kembali Karya Besar KH. Abdurrahim Almarhum (Periode II) berupa Al-Qur'an
tulisan tangan yang ditulis di atas kapal laut pada saat melakukan ibadah haji
dan Al-Qur'an tersebut telah musnah dibakar oleh Kompeni Belanda.
Tepat
pada tanggal 5 Februari 1993 Al-Qur'an Akbar itu dapat diselesaikan dan Menteri
Penerangan (H. Harmoko) saat itu secara simbolis membubuhkan huruf Sin terakhir
pada Mushaf besar produk Al-Asy'ariyyah itu. “Saya terharu kepada Khayatuddin dan Abdul
Malik, meskipun penulisannya memakai alat tradisional, namun hasilnya modern
dan saya cuma mengamini saja”, kata Menteri Penerangan saat itu.
Menurut
Menteri Agama RI, Tarmidzi Tahir, pada saat penyerahan Al-Qur'an itu
berlangsung di Bina Graha Jakarta, mengatakan bahwa pemerintah akan membangun
Baitul Qur’an untuk menyimpan Al-Qur'an Akbar tersebut serta untuk koleksi
Al-Qur'an lainnya, baik yang berbentuk laser disk maupun yang tersimpan dalam
komputer.
Meneruskan
eksistensi Pondok Pesantren Al-Asy'ariyyah, KH. Muntaha al-Hafidz, pada tahun
2002 juga sedang membangun menara masjid Baiturrahim (Komplek Pesantren)
setinggi 30 meter yang rencana akan menelan dana sebesar Rp. 1.716.500.000,00.
Tepatnya dimulai pembangunannya dengan peletakan batu pertama oleh KH. Muntaha
pada hari Jum’at Kliwon tanggal 6 September 2002 pukul 06.00 WIB.
Menurut
KH. Muntaha al-Hafidz, menara masjid tersebut adalah cita-cita yang pernah
disampaikan oleh KH. Asy’ari almarhum (Periode III atau bapak dari KH. Muntaha
al-Hafidz) yang niatnya tersebut diwujudkan oleh KH. Muntaha al-Hafidz dan KH.
Faqih Muntaha Al-Hafidz, di mana letak menara masjid tersebut tepat
berdampingan di sebelah utara Masjid Baiturrahim atau di sebelah selatan Pondok
Putri.